Presiden Kampanye Pelanggaran Norma Etik Dan Sosial* | POSBANTEN.CO.ID
google.com, pub-2901016173143435, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Thursday 21st November 2024

Presiden Kampanye Pelanggaran Norma Etik Dan Sosial* 

Posbanten.co.id Makasar – Menanggapi isu yang berkembang bahwa presiden boleh kampanye dan memihak, berpotensi menjadi kasus penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Untuk itu diharapkan agar Bawaslu RI berani melakukan kewajiban konstitusionalnya melakukan pengawasan, dan tidak ragu melakukan penegakan hukum.

Sebagaimana publik ketahui lewat media sosial kalau Presiden Jokowi mengatakan, seorang kepala negara atau presiden boleh berkampanye, dan memihak pada pemilihan umum (pemilu). Hal ini merupakan hak dari presiden sebagai seorang warga negara, sebagaimana diatur di dalam Pasal 23 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu “setiap orang bebas untuk memilih, dan mempunyai keyakinan politiknya.” Dengan demikian UU HAM juga menjamin bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih, dan memilih dalam pemilihan umum.

Namun demikian, apabila keberpihakan presiden dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan ataupun keputusan tertentu dengan menggunakan fasilitas negara atau menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan salah satu paslon tertentu, maka tindakan tersebut berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang. Sedangkan “penyalahgunaan wewenang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam pemilu, dapat dikategorikan sebagai mencampuradukkan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf (b) UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.”

Yang pasti sikap presiden tersebut sudah termasuk pelanggaran etis dan norma sosial, karena seorang presiden selain sebagai kepala negara sekaligus merupakan kepala pemerintahan tertinggi harusnya menjadi contoh dan panutan bagi semua kelompok dan golongan. Untuk itu diharapkan mampu berdiri tegak berlaku adil serta mengayomi semua kelompok tanpa tebang pilih.

Jika pada beberapa pemerintahan sebelumnya, sejak Orde Lama sampai era reformasi keberpihakan seorang kepala pemerintahan selain melanggar etik dan norma sosial juga merupakan pelanggaran konstitusi (dilarang). Dan jika sekarang seorang presiden sudah dibolehkan berkampanye dan bukan lagi termasuk pelanggaran konstitusi, maka dapat dipastikan telah terjadi perubahan atau revisi peraturan perundang-undangan tentang pemilu yang bisa dikategorikan sebagai kudeta konstitusi. Misalnya; adakah perubahan konstitusi?, untuk tujuan apa dan siapa yang berkepentingan terhadap perubahan konstitusi tersebut.

 Berdasarkan UU No. 7/2017 tentang Pemilu, Presiden dan Wakil Presiden memang dibolehkan untuk berkampanye dalam, baik Pilpres maupun Pileg. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 280 UU Pemilu yang merinci pejabat negara yang tidak boleh kampanye, antara lain; Ketua dan Para Hakim Agung, Ketua dan Para Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua dan anggota BPK. Sedangkan Presiden dan Wakil Presiden serta para Menterinya tidak termasuk dalam pejabat negara yang dilarang berkampanye dalam pemilu.

Tetapi yang perlu dijadikan pedoman dalam berkampanye, adalah ketentuan Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu yang mengatur tentang larangan dalam kampanye, yaitu; pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang:

(1) mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain; (4) menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat; (5) mengganggu ketertiban umum; (6) mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, kelompok masyarakat, dan/atau peserta pemilu yang lain; (7) merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu; (8) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; (9) membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; dan (10) menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.

Dalam pasal tersebut, larangan black campaign dalam pemilu tercermin di dalam larangan untuk menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Lantas, apa ancaman pidana bagi orang yang melakukan black campaign?

Sanksi Pelaku Black Campaign sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf (d) UU Pemilu. Pelanggaran terkait hal ini berpotensi dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling lama Rp. 24 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 521 UU Pemilu.

Membolehkan Presiden (pejabat publik) berkampanye dan memihak kepada capres tertentu, merupakan hasil revisi UU Pemilu yang sepertinya sengaja dirancang untuk melindungi kelompok penguasa khususnya Presiden sebagai kepala negara. Oleh sebab itu revisi UU Pemilu tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk kudeta konstitusi, sama dengan eksistensi Presiden yang sudah tidak dapat dijatuhkan atau dilengserkan dari jabatannya melalui Sidang Istimewa MPR jika terjadi pelanggaran konstitusi yang dilakukannya. Karena hal itu selain bertentangan dengan landasan demokrasi Pancasila, juga merupakan pelanggaran etik dan norma sosial yang dijunjung tinggi oleh mayoritas masyarakat Indonesia selama ini.

Akibat dari revisi (kudeta konstitusi) ini, maka Pasal 299 ayat (1) UU No. 7 tahun 2017 menjadi berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten.

Jadi kalau ada pihak-pihak yang mendukung dan membenarkan tindakan Presiden tidak netral dan membolehkan berkampanye serta memihak, maka tentu yang bersangkutan membenarkan tindakan amandemen UUD 45 (kudeta konstitusi) yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, untuk melindungi dan memperkuat posisi kelompok penguasa (oligarki).

Presiden mestinya tidak memihak dan berkampanye untuk jabatan paslon tertentu, apalagi berhubungan dengan keluarga (anak) atau kelompoknya, karena hal Itu merupakan pelanggaran etik dan norma sosial. Selain itu seorang presiden juga berpotensi memanfaatkan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya, serta berpotensi memanfaatkan fasilitas negara dalam mendukung capres tertentu.

Untuk itu, UU Pemilu harus diubah oleh DPR RI kalau Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Jokowi tidak salah jika dia mengatakan Presiden boleh kampanye dan memihak.

Sekarang publik menyoroti dan menganggap “tidak etis” kalau Presiden berkampanye dan memihak dalam Pemilu. Dan kalau etis itu dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun sikap dan perilaku manusia yang kedudukannya berada di atas norma hukum, maka hal itu seharusnya dijunjung tinggi dan tidak diamputasi (dihapus) ketika merumuskan undang-undang pemilu tersebut. Kecuali kalau “etis” dimaknai sebagai “code of conduct” dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, dan seterusnya. Maka penegakannya harus dilakukan oleh Dewan Kehormatan seperti MKMK atau Dewan Kehormatan Advokat.

Code of Conduct adalah sekumpulan komitmen yang terdiri dari etika kerja dan etika bisnis Pegawai yang disusun untuk mempengaruhi, membentuk, mengatur dan melakukan kesesuaian tingkah laku sehingga tercapai keluaran yang konsisten yang sesuai dengan budaya Perusahaan dalam mencapai visi dan misinya. Masalahnya kode etik sebagai “code of conduct” jabatan Presiden dan Wakil Presiden memang belum diatur. Oleh sebab itu, jika berbicara tentang etis atau tidak etis, umumnya bersifat subjektif menurut penilaian masing-masing. Bahkan orang yang kurang sopan pun dalam bertutur, dianggap “tidak etis”. Apalagi dibawa keranah politik, tentu sangat terkait dengan kepentingan kelompok politik masing-masing yang bisa melahirkan “politik transaksional” ungkap  Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Prov. Sul-Sel dan Pemerhati Politik & Pendidikan Drs. Achmad Ramli Karim, SH.,MH.di Makassar, 26 Januari 2024

Redaksi  : Piter Siagian AMd.

 

 

 

[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

mgid.com, 748613, DIRECT, d4c29acad76ce94f