Politik Transaksional Melumpuhkan Fungsi Trias Politica* Oleh: Achmad Ramli Karim Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan. | POSBANTEN.CO.ID
google.com, pub-2901016173143435, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Tuesday 22nd October 2024

Politik Transaksional Melumpuhkan Fungsi Trias Politica*  Oleh: Achmad Ramli Karim Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan.

Posbanten.co.id, Makasar.

*Siapa berwenang menetapkan syarat capres-cawapres?.*   Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) telah final persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 169, yaitu:

a). Bertaqwa kepada Tuhan YME, dst,

q). *Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun* .

Didalam UU Pemilu ini tidak diatur atau tidak tercantum persyaratan, “seorang calon pernah menjabat sebagai Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati/Walikota”. Jika syarat ini mau digunakan (pernah menjadi Kepala Daerah) maka seharusnya UU No. 7/2017 tentang Pemilu yang harus dirubah, dan yang memiliki kewenangan merubah UU Pemilu tersebut adalah legislatif (DPR) sebagai kewenangan membentuk undang-undang, dan bukan kewengan MK. Kebijakan hukum ini bersifat terbuka yang seharusnya merupakan kewenangan DPR (pembentuk UU). Karena konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak memberikan batasan yang jelas (Open legal policy). Jadi seharusnya MK tidak mengambil keputusan terkait hal ini, tetapi dikembalikan kepada pembentuk undang-undang (DPR).

DPR yang memiliki kewenangan untuk merubah UU No. 17/2017, dengan memasukkan kalusul “seorang capres atau cawapres boleh tidak mencapai usia minimal 40 tahun asalkan pernah menjabat Kepala Daerah”. Ini aneh bin ajaib karena MK mengabulkan kalusul tersebut, sementara klausul itu tidak diatur dalam UUD 1945 untuk dapat diuji melalui kewenangan MK.

Sekali lagi kudeta konstitusi telah terjadi sementara DPR RI memilih diam, seharusnya persoalan ini melalui regulasi per-undang-undangan di legislatif. Yaitu UU yang harus dirubah oleh DPR, bukan lewat gugatan karena jauh sebelumnya MK sudah bisa diduga tidak bisa menguji klausul usia minimal 40 tahun bagi capres dan cawapres, karena hal tersebut tidak diatur dalam UUD 1945.

Publik hanya curiga bahwa putusan MK tentang batas usia capres-cawapres bertujuan membangun dinasti kekuasaan, dengan berupaya memanfaatkan kewenangan MK menggolkan seseorang yang belum cukup usia 40 tahun. Publik tidak paham bahwa sesungguhnya dari kasus ini dapat diduga, ada transaksi kepentingan politik dibalik itu (politik transaksional) yang bersifat global, yaitu; kepentingan kapitalis yang berupaya mendekati eksekutif, legislatif, yudikatif, dan parpol untuk dapat melindungi kepentingan investor negara kapitalis (investasi global) serta melanjutkan dan mengamankan kebijakan politik oligarki. Dan sepertinya semua kebijakan hukum yang selama ini ditempuh baik dalam bentuk amandemen UUD, revisi atau perubahan regulasi undang-undangan, maupun kudeta konstitusi dengan melumpuhkan tupoksi legislatif, adalah mengarah kepada kepentingan investasi kaum kapitalis global.

*Konsep Trias Politica Dan Penetapannya Di Indonesia*

Trias Politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya politik tiga serangkai. Sederhananya, Trias Politica adalah konsep politik yang berarti pemisahan kekuasaan.

Menurut Wahyu Eko Nugroho dalam jurnalnya yang berjudul Implementasi Trias Politica dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia, menerangkan bahwa Trias Politica adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan yang berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas (hal. 66). Adapun tujuannya dari konsep Trias Politica ini adalah untuk mencegah kekuasaan negara yang bersifat absolut.

Konsep Trias Politica ditemukan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris yang kemudian Trias Politica dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul “L’Esprit des Lois”.

Adapun inti dari konsep pemisahan Trias Politica atau pemisahan kekuasaan adalah membagi suatu pemerintahan negara menjadi 3 (tiga) jenis kekuasaan, yaitu; eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Indonesia, sebagai negara demokrasi, termasuk salah satu negara yang menganut konsep ini.

Terkait penerapan Trias Politica di Indonesia, berikut ini dijelaskan satu per satu penerapannya berdasarkan setiap pembagian kekuasaan:

(1). *Kekuasaan Legislatif*

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Terdapat 3 (tiga) lembaga yang diberi kewenangan legislatif di Indonesia, antara lain Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

(2). *Kekuasaan Eksekutif*

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan roda pemerintahan. Di Indonesia, kekuasaan ini dipegang oleh Presiden bersama kabinetnya. Akan tetapi, mengingat kegiatan menjalankan undang-undang tidak mungkin dijalankan seorang diri, Presiden memiliki kewenangan untuk mendelegasikan tugas eksekutif kepada pejabat pemerintah lainnya, yakni para menteri.

(3). *Kekuasaan Yudikatif*

Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya atau biasa juga disebut kekuasaan kehakiman.

Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan fungsi yudikatif di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi atau pengadilan negara terakhir dan tertinggi, yang salah satu fungsinya adalah untuk membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali. Sementara salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) adalah melakukan uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

*Negara Indonesia Berdasar Atas Hukum Dan Bukan Kekuasaan Mutlak*

Negara hukum adalah negara yang menjalankan sistem pemerintahannya berdasarkan atas hukum (rechtstaat), dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).

F.J. Stahl, kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Negara hukum (rechtstaat) sebagai berikut : (a). Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia; (b). Pemisahan kekuasaan Negara; (c). Pemerintahan berdasarkan undang-undang; (d). Adanya Peradilan Administrasi.

Teori the rule of law atau rechtsstaat atau nomokrasi atau negara hukum merupakan sebuah konsep penyelenggaraan negara yang didasarkan atas hukum. Setiap tindakan penyelenggara kekuasaan negara baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif mesti didasarkan atas hukum yang berlaku.

Negara hukum (rechtsstaat) adalah negara yang berlandaskan pada peraturan hukum dan aturan yang berlaku secara mutlak. Dengan adanya hukum, maka negara tersebut dapat menjamin keadilan bagi seluruh elemen masyarakat

Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of belongin Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.

 

Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”2, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno. Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo

Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

(1). Perlindungan hak asasi manusia, (2). Pembagian kekuasaan, (3). Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4). Peradilan tata usaha Negara.

 

Penulis: Drs. Achmad Ramli Karim, SH.,MH, Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Prov. Sul-Sel, Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik PDM Kab. Gowa.

Piter siagian red

[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

mgid.com, 748613, DIRECT, d4c29acad76ce94f