BENARKAH MENGKRITIK JOKOWI BERIMBAS PADA ELEKTORAL GANJAR | POSBANTEN.CO.ID
google.com, pub-2901016173143435, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Saturday 11th May 2024

BENARKAH MENGKRITIK JOKOWI BERIMBAS PADA ELEKTORAL GANJAR

Posbanten.co.id, Jakarta.

Banyak pendapat yang dilontarkan terkendala oleh ancaman atau semakin ragu untuk diucapkan oleh sebab resiko yang akan dialami seseorang dari pernyataan mengenai persoalan apapun bahkan bisa saja menciptakan efek dominonya kepada pihak lain dikarenakan kesimpulan yang disampaikan itu terkait dengan tindakan atau perbuatan seseorang untuk dikomentari atau dikritik olehnya. Sikap keraguan ini pun semakin menular, manakala penjelasan yang disampaikan oleh pendapat pihak ketiga tersebut yang dianggap masuk akal dari berbagai alasan yang dikemukakannya, meski faktanya hal itu belum tentu terbukti. Namun karena penjabaran pihak ketiga tersebut lebih berfokus terhadap medan persoalan yang sengaja disusun agar terlihat terstruktur dan sistematis hingga dikait-kaitkan dengan hal-hal yang terhubung pada sisi pernyataan yang akan disampaikan seseorang, maka segalanya menjadi rasional dan masuk akal pula.

Padahal, jika seseorang memahami bahwa aspek pembelajaran lebih banyak didapat dari berbagai kesalahan yang dilakukannya, tentu pandangan semacam itu boleh saja disingkirkan. Bahkan semangat dalam membangun keberanian generasi muda yang dilakukan oleh bangsa Jepang, justru memberikan peluang sebanyak mungkin agar rakyatnya bersedia melakukan kesalahan yang mereka anggap bernilai “plus-satu” dari pada tidak pernah mencobanya sama sekali, pasca tingginya angka aksi bunuh diri generasi muda mereka akibat gagalnya mereka mendapatkan prestasi yang di inginkannya. Maka tak heran jika Jepang acapkali masuk ke dalam daftar negara dengan PDB terbesar di dunia bahkan per 2 November 2022 saja, data menurut IMF mereka menduduki urutan ke tiga pasca Amerika Serikat senilai US$ 25,04 triliun dan China dengan nilai US$ 18,32 triliun. Sedangkan Jepang sendiri US$ 4,3 triliun. Artinya, keberanian melakukan kesalahan adalah wujud pembelajaran demi memetik pengalaman tentunya.

Menyikapi perihal diatas, khususnya yang terkait dengan situasi politik pemenangan pilpres 2024 mendatang, dimana terdapat 3 pasang capres yaitu, pasangan Anis Baswedan dengan Cak Imin, Prabowo dengan Gibran, serta Ganjar Pranowo dengan Mahfud MD. Dari 3 pasang capres ini, terdapat hal yang menarik atas dideklarasikannya Gibran yang merupakan kader PDI Perjuangan untuk mendampingi Prabowo Subianto selaku cawapresnya. Sosok Gibran Rakabuming Raka sendiri diketahui publik sebagai putra sulung Jokowi yang sama-sama memiliki KTA dari keanggotaan partai yang sama pula. Ditariknya Gibran sebagai cawapres PS pun bukan tanpa alasan, sebab tingkat kepuasan masyarakat Jokowi dianggap searah dengan elektoral yang akan diwariskannya nanti. Artinya siapapun capres 2024 ini akan dianggap sebagai “Penerus Jokowi” sesungguhnya. Dari keadaan ini tentu banyak yang dengan gampangnya menarik kesimpulan bahwa kemenangan pilpres 2024 nanti ditentukan kemana jokowi akan mengarahkan telunjuknya.

Jokowi pun tampak menggiring kearah wacana gemilang dibalik strateginya dalam membangun Koalisi Besar dari partai-partai yang ikut dalam kabinetnya sebagaimana yang disampaikan Zulkifly Hasan pada saat kunjungannya di kediaman Prabowo yang telah dimuat dalam Pemberitaan CNN Indonesia tertanggal 8 April 2023 jika Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan menyebutkan bahwa wacana koalisi besar atau koalisi kebangsaan di Pilpres 2024 merupakan orkestrasi Presiden Joko Widodo. Strategi Testing the water atas popularitas Jokowi pun belum berakhir, sebab berbagai aksinya yang dianggap publik sebagai cawe-cawe politik praktis yang dilakukannya pun walau banyak mengundang kritik masyarakat. Hal itu terlihat dari banyaknya pemberitaan yang menghiasi tayangan layar kaca sejak pengangkatan dirinya selaku Presiden di proiode keduanya. Bahkan santer pula isu yang disinyalir menyebutkan jika dirinya ingin mendapatkan masa perpanjangan jabatan hingga 3 periode.

Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Hasto Kristyanto selaku Sekjen PDI Perjuangan dari pesan salah seorang menteri yang menemuinya dalam acara nyekar beliau di makam Bung Karno, dan dari pesan tersebut mengisyaratkan jika “Pak Lurah” menginginkan masa jabatan Presidennya hingga 3 periode. Pemberitaan atas wacana itu pun di kemas sedemikian rupa agar tak terkesan bahwa dirinyalah yang menginginkan hal tersebut.

Apalagi menjadi hal yang biasa sekiranya politik memang sering menciptakan drama dari penampilan panggung depannya, namun berbeda lagi dengan strategi panggung belakangan yang menjadi wadah para desainernya atas taktik dan strategi yang akan dimunculkan. Tanggapan PDIP yang menginginkan agar siapapun Presidennya harus taat kepada sistem Konstitusi tentu menjadikan wacana itu terhenti. Ditambah lagi pasca dideklarasikannya Ganjar Pranowo sebagai Capres 2024 yang diusung oleh PDIP praktis menimbulkan dampak politik dengan dinamika yang luar biasa.

Pupusnya ide Koalisi Besar itu bukannya membuat Jokowi mengurungkan niatnya. Berbekal popularitas dan sikap maniac publik yang dikantonginya, dia pun mencoba peruntungan lain dibalik jargon “Ojo Kesusu” dan “Tegak Lurus” yang saat ini melekat sebagai kata keramat dan identik atas rambu-rambu politik bagi para konstituen yang mengelu-elukan dirinya. Maka sudah barang tentu disertai upayanya ini diserta dengan Punishment sebagai sanksi bagi siapa saja yang menentang sikap politiknya.

Free Kick pertama pun ditujukan kepada Surya Paloh yang dianggap tidak lagi bisa sejalan untuk dijinakkan. Bahkan Sindiran Jokowi yang menyebutnya sebagai pihak yang sembrono dalam memilih Capres atas dideklarasikan partai Nasdem beberapa saat lalu, dianggap telah membelakangi langkah dan strategi politiknya pula. Meski sebelum itu, Jokowi acapkali dilabelkan dengan istilah bahwa, “Jokowi adalah Nasdem dan Nasdem adalah Jokowi”. Namun faktanya, Surya Paloh tetap saja dianggap pihak yang kini telah berseberangan dengan kelompoknya.

Jokowi boleh saja bangga dengan tingkat kepuasan rakyat yang saat ini melekat dengan dirinya. Namun terjadinya hal itu bukan tanpa sebab sebagai akibat dari gigihnya para Buzer-buzer yang mempengaruhi suara netizen dalam memujinya secara membabi buta hingga dikeluhkan oleh pihak oposisi selama 9 tahun belakangan ini. Apalagi para pendukung sebelumnya pun datang dari barisan petinggi PDIP sebut saja Adian Napitupulu yang sering menghalau kritik yang ditujukan kepadanya. Justru pihak-pihak yang disebutkan sebagai figur-figur yang dekat dengan dirinya, termasuk ketua-ketua umum relawan dan ormas pendukungnya malah sering tampak diam walau telah disuguhi berbagai jabatan sejak dirinya berkuasa. Terbukti, kecurigaan masyarakat atas sikap Jokowi yang dianggap sering tidak loyal kepada partai yang telah banyak berjasa dan membesarkan dirinya, anak dan menantunya itu. Berbagai kritik pun sedemikian derasnya mengalir tanpa ada satu pun pihak yang bersedia meng-counter-nya isu-isu negatif yang saat ini ditujukan kepadanya.

Peristiwa ditepisnya tangan Jokowi oleh Megawati di acara Rakernas PDIP pada awal oktober itu menampakkan bahwa teguran sikap politiknya itu mulai nyata dikesankan. Walau masih dalam teguran ringan, namun belajar dari peristiwa semacam itu, dimana publik masih mengingat jika SBY pernah merasakan akibat patah arangnya sikap Megawati dalam menghadapinya. Apalagi menelaah sikap Megawati yang selama ini begitu tulus terhadap Jokowi, hingga mengorbankan dua kesempatan bagi pencapresan dirinya sendiri untuk memberikan rekomendasi partai yang dipimpinnya itu kepada Jokowi, tentu sikap ini pun diketahui publik secara nyata pula. Walau strategi politik acakali sarat akan intrik dan taktik, serta sikap-sikap pragmatis yang memang sering pula menjadi bagian dari cara yang digunakan untuk mencapai tujuannya, namun adakalanya sikap yang keterlaluan itu dijawab dengan Body Language sebagai pesan non verbal untuk mengkonfirmasi bahwa Jokowi harus berpikir dan mengakhiri langkah-langkah politiknya yang menjadikan partai membesarkan dirinya itu pada situasi yang kurang beruntung.

 

Walau publik menduga jika Jokowi terjerat atas janjinya kepada salah satu capres pasca dirinya memenangkan pertarungan di pilpres keduanya, hingga harus berdamai dengan Prabowo Subianto yang menolak memberikan pernyataan kemenangan terhadap hasil akhir dari serangkaian pelaksanaan pilpres 2019 silam, dimana melalui pendekatan personalnya itu berhasil menarik Prabowo untuk bergabung kedalam kubu koalisi pemerintah yang dipimpinnya, bahkan dalam kesempatan lain beliau menyebutkan : “Dua kali di pilpres juga menang. Mohon maaf, Pak Prabowo. Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo,” sebut Jokowi di puncak peringatan ulang tahun Perindo di Jakarta, Sebagaimana dikutip dari pemberitaan CNN Indonesia tertanggal 7/11/2022 tersebut.

Pernyataan ini pun dianggap publik telah mendahului keputusan rakyat sebagai pemilik suara demokrasi yang secara independen akan menentukan nasibnya sendiri selaku pemilik suara sah dari jutaan orang yang akan menentukan pilihannya meskipun pilihan tersebut nyata-nyata berbeda pula pada akhirnya.

Skenario berbau tak sedap pun kini datang menghampirinya, walau jawaban atas hal tersebut tak kunjung terlontar dari mulutnya dibalik keputusan MK dalam memuluskan langkah Gibran yang terganjal oleh batasan usia jika dicalonkan sebagai cawapres di tahun 2024 ini. Belum lagi isu miring tentang akan dihilangkannya debat capres dan cawapres yang selama ini menjadi tontonan ratusan juta masyarakat indonesia dalam melihat kematangan sosok yang akan memimpin NKRI ke depan, dibalik rendahnya kualitas capres dan cawapres yang didukungnya dengan cara sembunyi-sembunyi tersebut. Meski pada akhirnya isu tersebut ditepis KPU pasca ramainya respon dari masyarakat luas.

Oleh karenanya rakyat pun menyadari bahwa Ganjar memiliki kelengkapan yang nyaris sempurna, baik pengetahuan tata kelola pemerintah, maupun pengalaman yang dimilikinya sejak berkecimpung didunia politik dengan berbagai rekam jejaknya yang begitu terlihat matang . Belum lagi sosok Prof. Mahfud MD yang telah lamang melintang dibidang hukum dan konstitusi, dimana apabila disandingkan dengan Cak Imin dan Gibran tentu saja masyarakat bisa dengan mudah menilai dan figur mana yang dianggapnya pantas memimpin Indonesia kedepan. Pungkas Andi Salim menutup.

Piter siagian red

[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

mgid.com, 748613, DIRECT, d4c29acad76ce94f